Sunday, January 1, 2012

Serangan Ulat Heortia vitessoides

TAK SEHELAI DAUN PUN TAMPAK PADA DERETAN 100 POHON GAHARU ITU. PADAHAL, 4 BULAN SEBELUMNYA POHON-POHON BERUMUR 2 TAHUN ITU TERLIHAT RIMBUN DAN HIJAU.

Deretan gaharu gundul itu ada di lahan Mansur Tanca, pekebun di Berau, Kalimantan Timur. Ia membudidayakan 2.000 gaharu Aquillaria malaccensis di lahan 3 ha. ‘Awal Oktober 2009 baru 5 pohon yang terserang ulat, tapi pada Januari 2010 sudah 100 pohon gaharu yang mati,’ ujar Tanca. Biang kerok penggundulan daun gaharu adalah segerombolan ulat Heortia vitessoides seukuran 2 - 3 cm penghasil gubal wangi.
Pohon-pohon milik Ani, pekebun di Desa Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengalami hal sama. Padahal, pohon-pohon itu menjelang panen. Sebab, Ani sudah 2 tahun menginsersi atau menyuntikkan cendawan ke batang pohon gaharu. Namun, pada Agustus 2010 ribuan ulat menggerayangi pohon anggota famili Thymelaeaceae itu.
Dari India
Serangan ulat juga merebak di berbagai sentra gaharu di Indonesia seperti Bangka, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Menurut Dr Erdy Santoso, periset gaharu di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA), Gunungbatu, Bogor, Jawa Barat, serangan ulat pada gaharu pertama tercatat pada 2008 di Carita, Banten.
Di luar negeri, kasus pertama terjadi di India pada 1998. Serangan ulat H. vitessoides juga terjadi di Vietnam, Fiji, dan Australia. Di Bangka ulat heortia bukan hanya menyerang gaharu budidaya, tetapi juga pada gaharu alam. Artinya, sebelum ditemukan kasus serangan parah di Carita, kemungkinan ulat itu sudah ada. Namun, terjadinya ledakan populasi hama itu baru 2 tahun silam.
Menurut Erdy ledakan serangan antara lain terjadi karena merebaknya penanaman gaharu secara monokultur dan kurangnya predator alami. Sedangkan Gregori Garnadi Hambali, ahli Biologi alumnus University of Birmingham, mengatakan penanaman mahkotadewa yang marak belakangan ini juga diduga memicu ledakan serangan ulat. Gaharu dan mahkotadewa masih sekerabat, keduanya anggota famili Thymelaeaceae. Masyarakat menanam mahkotadewa sebagai tanaman obat multikhasiat.
Erdy Santoso belum bisa memastikan penyebab meledaknya serangan heortia di Indonesia. Ngengat atau serangga dewasa heortia meletakkan telur di permukaan bawah daun gaharu. ‘Seekor ngengat menelurkan 350 - 550 butir,’ kata doktor alumnus Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor itu. Wajar bila ribuan ulat menghuni sebuah pohon. Telur menetas setelah berumur 10 hari dan menjadi larva atau ulat. Pada fase itulah serangan terjadi. Ulat memakan daun gaharu. Mula-mula pucuk, kemudian daun muda, tua, tangkai daun, dan ranting muda pun mereka sikat habis, tanpa tersisa.
Tingkat serangan berkisar 20 - 100%. Pada tingkat serangan 100%, tanaman gundul seperti tampak di kebun Mansur. Stadium larva berlangsung selama 23 hari, setelah itu ulat menjadi kepompong selama 8 hari. Kepompong membuka menjadi ngengat kembali yang hidup selama 4 hari. Karena hanya stadium larva yang menyerang tanaman, wajar jika siklus hidupnya relatif bersamaan, hama itu tampak seperti menghilang beberapa saat. Namun, setelah itu serangan bisa muncul kembali.
Menurut Mansur, serangan kedua itulah yang berakibat fatal ke pohon gaharu miliknya. ‘Pada serangan pertama, tanaman yang gundul masih bisa tumbuh lagi. Tetapi saat terkena serangan lagi, langsung mati,’ ujar Mansur. Sebab, kecepatan tumbuh pohon untuk memulihkan kondisinya kalah cepat ketimbang pertumbuhan populasi ulat.
Rangrang
Kematian dini pada tanaman gaharu sangat merugikan pekebun. Oleh karena itu mengendalikan serangan ulat merupakan langkah tepat. Untuk mengendalikan serangan ulat, pekebun dapat menggunakan insektisida baik kimiawi maupun nabati. Menurut Erdy, pekebun perlu waspada ketika menggunakan insektisida kimiawi terutama jika daun gaharu dimanfaatkan sebagai teh.
‘Kandungan bahan aktif insektisida bisa terakumulasi di dalam daun dan terkonsumsi manusia,’ ujar Erdy. Selain itu, penggunaan insektisida kimia juga mencemari lingkungan. Pilihan lain untuk mengatasi serangan ulat adalah bakteri Bacillus thuringiensis atau cendawan Beauveria bassiana yang merupakan parasit pada heortia. Pekebun dapat menyemprotkan kedua mikroba yang tersedia dalam bentuk cairan itu pada ulat atau kepompong. Akibatnya, ulat menjadi terinfeksi bakteri/cendawan itu dan bisa menularkan ke ulat lain hingga sakit dan mati.
Cara lain yang lebih sederhana tetapi cukup efektif adalah menggunakan semut rangrang Oecophylla smaragdina. Semut itu menjadi predator telur dan larva heortia. ‘Namun, hindari menggunakan semut rangrang dari tempat yang berbeda untuk kebun gaharu yang sama,’ ujar Erdy. Sebab, jika koloni semut dari tempat yang berbeda disatukan, semut itu bukannya menjadi predator ulat tetapi justru saling berperang. Upayakan semut-semut merasa betah dan menetap di pohon gaharu. Caranya, gantungkan tulang ayam atau ternak di pohon gaharu. Pekebun tak perlu menempatkan rangrang di setiap pohon, cukup membuat ‘jembatan antarpohon’ bagi semut rangrang dengan seutas tali.
Untuk mencegah serangan ulat, pekebun perlu memangkas ranting-ranting gaharu terutama di bagian bawah. Sebab, ngengat-ngengat itu diduga terbang rendah. Oleh karena itu ngengat tidak bisa meletakkan telur di daun gaharu jika pekebun memangkas ranting-ranting yang rendah. ‘Untuk pencegahan jangka panjang, penanaman gaharu perlu ditumpangsarikan dengan tanaman lain,’ kata Erdy. Contoh tanaman itu antara lain singkong, cabai, pisang, maupun tanaman buah dan perkebunan seperti durian, karet, kelapa sawit, serta sengon.
Artikel ini di copy dan diedit dari www.trbus-online.com

No comments:

Post a Comment