Saturday, December 31, 2011

Agarwood/Gaharu Grading System

(taken from : https://sites.google.com/a/te-resources.net/www/gaharubussinessdevelopment) 


There are 16 species from Aquilaria genus which provides high commercial value of Agarwood/Gaharu according to the data from the World Gaharu Convention in Vietnam (2004).
  1. Aquilaria Subintegra            -Found at Thailand
  2. Aquilaria Crassna                -Found at Thailand, Cambodia
  3. Aquilaria Malacensis            -Found at Thailand,Malaysia,India
  4. Aquilaria Apiculata              -Found at Philippines
  5. Aquilaria Baillonil                 -Found at Thailand, Cambodia
  6. Aquilaria Baneonsis             -Found at Vietnam
  7. Aquilaria Beccarian             -Found at Indonesia
  8. Aquilaria Brachyantha         -Found at Malaysia
  9. Aquilaria Cumingiana           -Found at Indonesia, Malaysia
  10. Aquilaria Filaria                   -Found at P.New Guinea, China
  11. Aquilaria Grandiflora            -Found at China
  12. Aquilaria Hilata                   -Found at Indonesia, Malaysia
  13. Aquilaria Khasiana               -Found at India
  14. Aquilaria Microcapa             -Found at Indonesia, Malaysia
  15. Aquilaria Rostrata               -Found at Malaysia
  16. Aquilaria Sinensis               -Found at China
Aquilaria Subintegra was declared as the only Agarwood/Gaharu species that stand above the rest. It produces Super Grade agar resin, high yield of agar essential oil and pleasant aroma.

Business Development   

 
Agarwood/Gaharu trees can be farmed by the following practices.
  • Smallscale = Domestication in small plots of land / home gardens / individual home gardens managed by participants / farmers.
  • Commercialscale = Government agencies, Private companies / State Forest Enterprises / Collaboration with    TE-Resources.



Farming Management

Farming techniques such as;
  • Intercroppedwith aromatic herbs/herbal plants.    
  • Agarwood/Gaharu trees can be planted in Tree PlantingPrograms or at the Forest Reserve without losing the natural landscape.
  • Integration of Agarwood/Gaharu trees into the local agroforestry system.
  • Introduction of TE-Resources Agarwood/Gaharu Biotechnology cultivation techniquesi.e Systematic inducement of high quality resin by wounding and inoculation.
  • Quality assessment, productionand grading.

Kulit buah gaharu musuh stroke

 
Darah mengucur dari hidung Asrul bukan mimisan biasa. Itu membuka tabir bahwa ia positif stroke.
Setiap kali merasa capai, Asrul di Desa Purworejo, Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, memang kerap mimisan. Namun, biasanya tanpa kepala pusing. Peristiwa ‘mimisan’ terakhir pada 2008 ia juga merasa pusing di kepala begitu hebat. Sampai-sampai ia tak mampu menahan bobot tubuhnya karena lemas. Wajah Asrul pucat pasi. Beruntung saat kejadian itu Asrul sedang bersama sang istri yang bergegas membawanya ke rumahsakit. Ketika itulah dokter mendiagnosis Asrul terkena stroke.
Asrul gemar menyantap makanan berlemak berkadar kolesterol tinggi seperti daging dan kue. Tumpukan kolestrol di pembuluh darah menghambat aliran darah ke otak. Berkurangnya pasokan darah secara mendadak itulah yang dinamakan stroke. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) sebanyak 15-juta penduduk dunia per tahun terserang stroke. Lima juta di antaranya meninggal dan 5-juta mengalami cacat permanen.
Darah tinggi
Dokter spesialis saraf di Rumahsakit Jakarta, Jakarta Selatan, dr Satya Hanura, SpS mengatakan, ‘Faktor utama pemicu stroke adalah hipertensi atau tekanan darah tinggi.’ Hipertensi akibat kadar kolesterol yang tinggi dalam darah. Menurut Hanura terdapat 2 jenis stroke, yakni iskemik dan hemorragik. Stroke iskemik terjadi lantaran aliran darah ke otak berhenti karena ateorosklerosis – penumpukan kolesterol di dinding pembuluh darah – atau pembekuan darah yang menyumbat darah masuk ke otak. Sedangkan stroke hemorragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah. Akibatnya darah merembes ke suatu daerah di otak dan merusaknya.
Orang mudah mengenali gejala stroke seperti mendadak lelah, pusing tak tertahankan, linglung, dan sulit berbicara. Gejala lain adalah tangan, kaki, dan wajah kebas. Ketika gejala itu muncul, segera bawa pasien ke dokter, terutama bagi penderita hipertensi. Musababnya, bila tidak ditangani lebih dari 3 jam, gangguan aliran darah ke otak dapat berujung pada kematian. Itulah sebabnya, istri Arul segera membawa suami ke dokter. Namun, lepas dari rumahsakit kesembuhan ibarat jauh api dari panggang.
Asrul masih kerap pusing, begitu juga tangan acap kali kebas. Bila gejala itu muncul, ia segara menenggak obat-obat dari dokter. Ia menjadi sangat tergantung pada obat-obatan dokter. Pada pertengahan 2008, Asrul berpaling pada buah gaharu atas saran tetangganya, Gunawan Kastorejo. Selama ini Gunawan memang mengkonsumsi rebusan kulit buah gaharu untuk menjaga kesehatan. Ia teringat ucapan koleganya di Bogor bahwa yang pahit-pahit itu obat merujuk pada citarasa rebusan kulit buah gaharu.
Saat ini untuk memperoleh buah gaharu relatif mudah. Sebab, dalam 5 tahun terakhir gairah masyarakat mengebunkan pohon penghasil gubal nan harum itu sangat tinggi. Oleh karena itu di berbagai daerah tumbuh sentra gaharu. Menurut Drs Yana Sumarna MSi, periset di Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, pohon dewasa berumur 5 tahun mulai berbuah. Ketika matang, buah akan membuka sehingga biji jatuh ke permukaan tanah. Kini penanaman kemungkinan lebih dari 1.750 ha yang tersebar dari Sumatera sampai Papua. Di Kalimantan Barat, misalnya, penamanan gaharu mencapai 300.000 – 400.000 pohon. Populasi tanaman dengan diversifikasi mencapai 400 pohon per ha.
Produksi sebuah pohon mencapai puluhan kg buah per tahun. Pohon berbuah sepanjang tahun. Asrul memanfaatkan buah gaharu Aquilaria sinensis itu setelah menjemur selama sepekan agar kadar air turun dan tersisa kira-kira 14%. Asrul kemudian menyeduh kulit buah gaharu kering dalam segelas air panas dan membiarkan selama 1 – 2 jam. Setelah itu barulah ia meminum sekali sehari. Ia hanya sekali menyeduh buah gaharu. Untuk seduhan berikutnya ia menggunakan buah baru. Sejak mengonsumsi seduhan buah gaharu, Asrul meninggalkan obat-obatan dari dokter.
Kaya manfaat
Penderita stroke itu mulai merasakan khasiat buah yang selama ini banyak terbuang setelah sebulan rutin mengonsumsi. Tubuh terasa bugar. Dua bulan kemudian, Asrul tak lagi mengalami gejala stroke. Nurjanah Harije di Samarinda, Kalimantan Timur, juga merasakan manfaat kulit buah gaharu. Ia mengidap hipertensi kronis selama 5 tahun. Harije acap kali merasa pusing dan sulit menggerakkan tubuh ketika tekanan darah melambung, 200/100 mmHg. Pada kondisi normal tekanan darah 120/80 mm Hg.
Sejak rajin mengonsumsi seduhan kulit buah gaharu pada 2008, tekanan darahnya normal. ‘Rasanya pahit,’ kata Harije. Meski demikian rasa pahit itu terbayar karena selang 3 bulan tekanan darah Harije normal. Pemanfaatan buah gaharu menambah daftar manfaat pohon anggota famili Thymeliaceae itu. Selama ini pekebun hanya memanfaatkan batang sebagai bahan baku minyak wangi. Jika ada bagian pohon lain, paling hanya daun untuk menjaga kesehatan seperti mengatasi diare dan kolesterol.
Seduhan daun gaharu mengandung agarospirol yang mampu menekan sistem saraf pusat sehingga memberikan efek menenangkan. Selain itu, juga menghilangkan mabuk perjalanan. Sedangkan hasil pembakaran kulit kayu gaharu sebagai obat antinyamuk. Menurut kepala Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Latifah K Darusman, MS, akar, batang, daun, dan ranting gaharu memiliki kandungan bioaktif yang nyaris sama.
‘Yang berbeda adalah konsentrasinya. Begitu juga aksesori pada gugus kimia seperti letak oksigen dan rantai,’ kata Latifah. Namun, ada saja yang identik pada suatu bagian, seperti halnya terdapat di daun atau batang. Sayangnya, hingga kini belum ada riset ilmiah yang mendukung bukti empiris bahwa buah gaharu tokcer mengatasi stroke atau hipertensi. Periset di Gifu Pharmaceutical University, Jepang, Mamoru Kakino pada 2010 membuktikan daun gaharu berfaedah sebagai pencahar. Ia memberikan dosis 300 mg dan 600 mg per kg bobot tubuh mencit. Hasilnya meningkatkan frekuensi, bobot, dan air dalam komponen kotoran.
Meski demikian bagi para pasien hipertensi dan stroke, buah gaharu layak menjadi pilihan demi memperoleh kesembuhan. Asrul dan Nurlia Harije telah membuktikannya setelah rutin mengonsumsi seduhan kulit buah selama 3 bulan. Rasa seduhan buah seukuran 2 kali melinjo itu memang pahit. Bagaimana jika mereka sembuh? Ah, sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula. (Lastioro Anmi Tambunan-Trubus Online)

Friday, December 30, 2011

Prosedur Pemindahan Bibit Gaharu


Gambar menunjukkan benih gaharu jenis subintegra yang telah tumbuh. Perhatikan bibit gaharu yang telah memiliki 3 daun ....itulah bibit gaharu yang sudah pantas untuk dipindah ke polibag.



Hati-hati memindahkan bibit dari dari tempat semaian, perhatikan agar akar tunjang tidak putus / rusak. Sediakan polibag yang telah diisi dengan tanah top soil  dan pupuk kompos (organik), kalau bisa jangan memakai pupuk kimia.









Perhatikan gambar, setelah pokok gaharu dipindahkan ke polibag, pastikan meletakkannya di tempat teduh atau tidak terkena pancaran matahari langsung. Lakukan pemindahan pada saat sore hari karena pada saat itu suhu sudah tidak terlalu panas.

Apabila anda melakukan pemindahan bibit gaharu dalam skala besar, usahakan gunakan water sprinkeler atau siraman otomatis untuk melakukan penyiraman air, anak-anak gaharu yang baru dipindahkan memang memerlukan perhatian khusus karena anak gaharu sangatlah sensitif terhadap perubahan lingkungannya.

Para Pemilik Keharuman

 
No Image





Matahari 7 Oktober 2008 bersinar cerah di atas langit Kaohsiung, Taiwan. Ribuan pasang mata tertuju pada Vincent Siew. Yang menjadi pusat perhatian, dengan sigap memasukkan bibit Aquilaria crassna setinggi 1 m ke dalam lubang tanam. Penanaman oleh wakil presiden Taiwan jadi penanda pengembangan 10.000 crassna di Pulau Formosa.

Taiwan selama ini lebih dikenal sebagai importir gaharu. Mereka banyak membeli kayu wangi itu dari Indonesia. Namun, kini negeri di Timur Jauh itu mulai melirik peluang membudidayakan. Selain A. crassna, mereka memiliki A. sinensis.

Crassna dan sinensis, 2 di antara 8 jenis Aquilaria penghasil resin gaharu. Yang lain ialah A. beccariana, A. malaccensis, A. cumingiana, A. hirta, A. microcarpa, dan A. filaria. Semua masuk ke dalam famili Thymelaeaceae. Secara sepintas sulit membedakan anggota keluarga karas-karasan itu. Untuk mengenalinya perlu tahu ciri khas masing-masing. Misal dari bentuk dan sifat perbungaan, bentuk dan kedudukan daun, bentuk buah, dan jumlah biji. Kerennya itu adalah sifat morfologis masing-masing tanaman.

Masih masuk keluarga karas-karasan, ada jenis lain yang potensial menghasilkan resin berbau wangi. Sebut saja Enkleia malaccensis, Claoxylon malaccensis, Gonystylus macrophylla, Wikstroemia polyantha, dan W. tenuiramis. Namun, kualitas resin tidak sebagus Aquilaria. Jenis lain yang juga dianggap sebagai kayu gaharu adalah Excoecaria agallocha (Euphorbiaceae) dan Dalbergia parviflora (Papilionaceae).

Berikut ciri-ciri penghasil gaharu.

1. Aquilaria beccariana.

Nama daerah:
Gaharu, merkaras, puti, gumbil minyak.

Status kelangkaan: Rawan. Pohon jenis ini banyak dicari dan ditebang karena resin gaharu yang dihasilkan harganya sangat mahal. Populasi alami sangat menurun drastis. Ekspor kayu gaharu dibatasi oleh kuota.

Deskripsi: Pohon besar, tinggi 40 m, diameter 60 cm. Batang berkulit tipis, kelabu putih, berserat panjang yang sangat kuat sehingga sering dimanfaatkan untuk tali. Daun bundar telur-elips melebar, tipis. Perbungaan pada ketiak daun. Bunga berupa tabung memanjang sekitar 1 cm. Buah berupa gelendong, gepeng, dan menyempit di kedua ujungnya, berkulit tipis, dan mengandung 2 biji.

Sebaran: Kalimantan, Sumatera

Tempat tumbuh: Hutan dataran rendah hingga ketinggian 700 m dpl.

Pembudidayaan: Sudah dibudidayakan, tetapi dalam skala kecil.

2. Aquilaria cumingiana

Nama daerah: Gaharu (Ind)

Status kelangkaan: Rawan

Deskripsi: Pohon setinggi 15-20 m, berdiameter 40 cm. Batang berkulit kelabu, berserat panjang

sehingga dapat dipakai untuk tali. Daun berseling, elips, panjang 4-10 cm, lebar 2,5-4 cm, basal menyempit, ujung lancip, urat daun lateral berjumlah 12 pasang, tampak jelas pada permukaan bawah daun. Perbungaan pada batang, memayung, jumlahnya sangat banyak. Bunga berupa tabung, warna hijau, panjang sekitar 5 mm, dan berbulu rapat. Buah bulat telur, warna hijau berubah kuning pada waktu matang, berukuran sekitar 1,5-2 cm. Biji 2 buah.

Sebaran: Indonesia bagian timur, Sulawesi

Tempat tumbuh: Hutan tropika basah

Pembudidayaan: Belum dibudidayakan

3. Aquilaria filaria.

Nama daerah: Age (Sorong), bokuin (Morotai), lason (Seram)

Status kelangkaan: Genting

Deskripsi: Pohon setinggi 20 m dan berdiameter 50 cm. Batang berkulit kelabu, tipis, dan berserat panjang, kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk tali. Daun berseling, licin, jorong atau elips hingga lanset, panjang 10-20 cm, lebar 3-6 cm, ujung luncip. Perbungaan pada ketiak daun, jumlah 3-7 bunga, memayung. Bunga berupa corong dengan 5 cuping tumpul, warna hijau kekuningan atau putih, 5-6 mm, bakal buah berbulu halus rapat. Buah bundar telur berlekuk 4, warna kekuningan, licin, panjang 1,5-2 cm. Biji 2 buah.

Sebaran: Indonesia bagian timur, Maluku, dan Papua.

Tempat tumbuh: Hutan tropika basah

Pembudidayaan: Sudah dibudidayakan

4. Aquilaria hirta

Nama daerah: Karas

Status kelangkaan :
Rawan

Deskripsi: Pohon setinggi 15 m dan berdiameter 17 cm. Batang tegak, kelabu, berkulit tipis dengan serat panjang dan kuat, ranting berbulu halus rapat. Daun berseling, bundar telur melebar, mirip daun A. beccariana, bagian bawah daun berurat jelas, berbulu tebal rapat, ujung luncip, berukuran panjang 15-16 cm, lebar 8-10 cm. Perbungaan di ketiak daun dekat ujung ranting, memayung. Bunga mekar tidak beraturan, mahkota berupa tabung 1 cm, berbulu rapat, warna gading. Buah gepeng, berupa gelendong, berbulu rapat halus putih, kulit buah tipis, berukuran panjang 2 cm.

Sebaran: Semenajung Malaysia, Sumatera

Tempat tumbuh: Hutan dataran rendah

Pembudidayaan: Belum dilakukan.

5. Aquilaria malaccensis

Nama daerah: Kayu karas, gaharu (Indonesia), calabac, karas, kekaras, mengkaras (Dayak), galoop (Melayu), halim (Lampung), alim (Batak), kareh (Minang).

Status kelangkaan: Rawan

Deskripsi: Pohon setinggi 40 m dan berdiameter 60 cm. Daun berseling, elips oblong hingga lanset oblong, ukuran 7,5-12 cm x 2-5 cm. Urat daun bagian bawah berbulu halus jelas. Perbungaan muncul di ketiak daun berbentuk malai dan memayung. Bunga berkelopak tabung, ukuran 5-6 mm, cuping 5, membundar. Buah bulat telur dengan bagian basal lebih lonjong, ukuran 2-3 cm, daging buah tebal, jumlah biji 1-2 buah.

Tempat tumbuh: Hutan primer tropika dataran rendah hingga ketinggian 700 m dpl,

Sebaran: India, Indocina, Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Sarawak, dan Filipina

Pembudidayaan: Penanaman di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Juga di Riau (Pekanbaru), Jambi (Sorolangun Bangko), Sumatera Selatan (Palembang), Jawa Barat (Bogor), dan Banten.

6. Aquilaria microcarpa

Nama daerah: Gaharu, karas (Ind), mengkaras (Malaysia), hepang (Bangka), engkaras (Dayak)

Status kelangkaan: Rawan

Deskripsi: Pohon setinggi 40 m, berdiameter 80 cm. Batang berkulit kelabu, berserat panjang sehingga dapat dipakai untuk tali. Daun berseling, elips, panjang 4-10 cm, lebar 1,5-5 cm, basal menyempit, ujung lancip hingga meluncip, urat daun lateral berjumlah 12-19 pasang, nampak jelas pada permukaan bawah daun. Perbungaan di ketiak atas daun, memayung, jumlah 6-11 bunga. Bunga berupa tabung, warna putih kekuningan, panjang sekitar 5 mm, berbulu rapat. Buah bulat lonjong, hijau licin berukuran sekitar 1-1,5 cm. Biji 2 buah.

Sebaran: Sumatera (Bangka, Belitung, Bengkulu, Jambi, Palembang, Riau), Kalimantan, dan Malaysia.

Tempat tumbuh: Hutan tropis basah dataran rendah hingga ketinggian 200 m.

Pembudidayaan: Dibudidayakan di Jambi, Palembang, dan Riau.

7. Gyrinops versteegii

Nama daerah: Ketimunan (Lombok), ruhuwama (Sumba), seke (Flores)

Status kelangkaan: Rawan

Deskripsi: Pohon tinggi hingga 25 m, diameter 40 cm. Daun elips memanjang, urat daun lateral sejajar, berukuran 10-20 cm, lebar 2-3 cm, hijau licin. Perbungaan terminal mendukung 6-8 bunga. Bunga berupa tabung, berukuran sekitar 3,5 mm, warna putih kotor kehijauan, benangsari berjumlah 5. Buah bulat telur berukuran 1 cm, biji satu buah.

Sebaran: Lombok, Sumbawa, Sumba, Maluku, dan Papua.

Tempat tumbuh: Hutan dataran rendah di Indonesia bagian timur

Pembudidayaan: Di Lombok, NTB. (Dr Harry Wiriadinata, ahli botani taksonomi Puslit Biologi LIPI)

SEPUTAR TUMBUHAN GAHARU

( taken from http://htysite.com/gaharu.htm)

Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum. Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditi perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur.
Berdasarkan studi dari Ng et al. (1997), diketahui jenis-jenis berikut ini menghasilkan resin gaharu apabila terinfeksi oleh kapang gaharu :
  1. Aquilaria subintegra, asal Thailand
    Aquilaria crassna asal Malaysia, Thailand, dan Kamboja
    Aquilaria malaccensis, asal Malaysia, Thailand, dan India
    Aquilaria apiculina, asal Filippina
    Aquilaria baillonii, asal Thailand dan Kamboja
    Aquilaria baneonsis, asal Vietnam
    Aquilaria beccarain, asal Indonesia
    Aquilaria brachyantha, asal Malaysia
  2. Aquilaria cumingiana, asal Indonesia dan Malaysia
    Aquilaria filaria, asal China
    Aquilaria grandiflora, asal China
    Aquilaria hilata, asal Indonesia dan Malaysia
    Aquilaria khasiana, asal India
    Aquilaria microcarpa, asal Indonesia Malaysia
    Aquilaria rostrata, asal Malaysia
    Aquilaria sinensis, asal Cina
Gaharu sebagai komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) pada saat ini keberadaannya semakin langka dan sangat dicari. Perburuan gaharu yang intensif karena permintaan pasar yang sangat besar menyebabkan gaharu alam dari hutan belantara Indonesia tidak mudah ditemukan. Sehingga pemerintah menurunkan kuota perdagangan gaharu alam untuk mengerem laju kepunahannya. Demikian juga secara internasional terdapat kesepakatan untuk memasukkan beberapa spesies tanaman penghasil gaharu menjadi tanaman yang dilindungi.
Sebelumnya, ekspor gaharu Indonesia tercatat lebih dari 100 ton pada tahun 1985. Pada periode 1990 – 1998, tercatat volume ekspor gaharu mencapai 165 ton dengan nilai US $ 2.000.000. Pada periode 1999 – 2000 volume ekspor meningkat menjadi 456 ton dengan nilai US $ 2.200.000. Sejak akhir tahun 2000 sampai akhir tahun 2002, volume ekspor menurun menjadi sekitar 30 ton dengan nilai US $ 600.000. Penurunan tersebut disebabkan semakin sulitnya gaharu didapatkan. Selain itu, pohon yang bisa didapatkan di hutan alam pun semakin sedikit yang diakibatkan penebangan hutan secara liar dan tidak terkendali serta tidak adanya upaya pelestarian setelah pohon tersebut ditebang.
Tegakan gaharu alam ditemukan di hutan seperti di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Para pemburu gaharu pada dasarnya mengetahui karakteristik tegakan gaharu yang menghasilkan gubal gaharu. Akan tetapi masa kajayaan gaharu telah menyebabkan banyak orang yang tidak berkompeten juga memburu gaharu sehingga banyak pohon yang tidak menghasilkan gaharu juga ditebang sehingga keberadaannya semakin berkurang secara drastis.
Salah satu alternatif yang kemudian dikembangkan oleh banyak pihak adalah dengan membudidayakan tanaman gaharu. Seperti halnya yang telah dikembangkan secara besar-besaran di Vietnam demikian pula di Malaysia. Pengembangan tanaman gaharu di Indonesia belumlah populer karena belum diketahui secara pasti nilai ekonomisnya. Namun dengan gencarnya penelitian oleh berbagai pihak sehingga ditemukan metoda atau teknologi yang cukup menjanjikan dapat membantu tanaman memproduksi gubal gaharu.
Jenis-jenis tanaman yang dapat dikembangkan adalah jenis tanaman yang selama ini dikenal sebagai penghasil gaharu seperti Aquilaria. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, A. filaria, A. crassna, A. agallocha, A. baillonii, A. khasiana, A. grandiflora, A. borneensis, A. sinensis, Gonystylus bancanus, Gyrinops verstegii.

IDENTIFIKASI ( morfologi ) POHON GAHARU
Aquilaria microcarpa Baill. (family Thymelaeaceae) merupakan jenis pohon penghasil gaharu yang ditemui di Hutan Lindung S. Wain. Adapun ciri morfologi jenisnya adalah sebagai berikut :
Pohon mempunyai tinggi mencapai 40 m dengan diameter batang 80 cm.
Kulit batang bagian luar berwarna abu-abu keputihan, pada pohon tua kulit bagian luar jika diraba terasa lunak atau rapuh dan mudah mengelupas. Kulit batang bagian dalam berwarna putih krem dan kayu gubalnya berwarna putih.
Ranting muda berwarna coklat terang dan berbulu halus.
Daun berwarna hijau
kadang terdapat bintik
-bintik putih dan tepi daun bergelombang, pada bagian atas daun muda tidak terdapat bulu tetapi pada bagian bawah kadang dijumpai adanya bulu-bulu halus, merupakan daun tunggal dengan bentuk daun menjorong hingga lonjong, membundar telur sungsang hingga lonjong atau melanset sungsang dengan panjang 4,5 – 10 cm dan lebar 1,5 – 4,5 cm. Pangkal daun membaji hingga menirus, ujung daun meruncing dan kadang berekor dengan panjang hingga 1 cm. Tulang daun sekunder 12-19 pasang,urat daun tidak beraturan, kadang bercabang, terlihat jelas dari permukaan atas daun. Tangkai daun dengan panjang 3-5 mm, berbulu.
Perbungaan di ujung, ketiak dan diatas ketiak tangkai dengan bunga berwarna putih, kuning terang atau kuning dengan panjang hingga 5.mm, berbulu halus.

Gambar : Buah dan biji GAHARU
Kelopak bunga berbentuk bulat telur hingga lonjong, menumpul, berbulu tebal pada kedua permukaan. Bagian mahkota bunga pada umunya lebih panjang dari benangsari, bulat telur hingga lonjong dan berambut tebal. Benangsari panjang 1-1,5 mm, berseling panjang dan pendek dengan kepala sari berukuran 0,5mm. Bakal buah berbulu tebal dengan kepala putik mementol.
Buah kapsul berbentuk menjantung (subcordate), dengan ukuran 8-12(-16) mm sampai 10-12(-15) mm, terdapat 1-2 biji dalam satu buah.

Biji bulat telur dengan ukuran 6-4 mm, berbulu tebal berwarna kecoklatan


Proses pembentukan
Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon dari masuknya mikroba yang masuk ke dalam jaringan yang terluka. Luka pada tanaman berkayu dapat disebabkan secara alami karena adanya cabang dahan yang patah atau kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian. Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit atau patogen. Senyawa fitoaleksin tersebut dapat berupa resin berwarna coklat dan beraroma harum, serta menumpuk pada pembuluh xilem dan floem untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain. Namun, apabila mikroba yang menginfeksi tanaman dapat mengalahkan sistem pertahanan tanaman maka gaharu tidak terbentuk dan bagian tanaman yang luka dapat membusuk. Ciri-ciri bagian tanaman yang telah menghasilkan gaharu adalah kulit batang menjadi lunak, tajuk tanaman menguning dan rontok, serta terjadi pembengkakan, pelekukan, atau penebalan pada batang dan cabang tanaman. Senyawa gaharu dapat menghasilkan aroma yang harum karena mengandung senyawa guia dienal, selina-dienone, dan selina dienol. Untuk kepentingan komersil, masyarakat mengebor batang tanaman penghasil gaharu dan memasukkan inokulum cendawan ke dalamnya. Setiap spesies pohon penghasil gaharu memiliki mikroba spesifik untuk menginduksi penghasilan gaharu dalam jumlah yang besar. Beberapa contoh cendawan yang dapat digunakan sebagai inokulum adalah Acremonium sp., Cylindrocarpon sp., Fusarium nivale, Fusarium solani, Fusarium fusariodes, Fusarium roseum, Fusarium lateritium dan Chepalosporium sp.

Nilai ekonomi
Gaharu banyak diperdagangan dengan harga jual yang sangat tinggi terutama untuk gaharu dari tanaman famili Themeleaceae dengan jenis Aquilaria spp. yang dalam dunia perdangangan disebut sebagai gaharu beringin. Untuk jenis gaharu dengan nilai jual yang relatif rendah, biasanya disebut sebagai gaharu buaya. Selain ditentukan dari jenis tanaman penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya kandungan resin dalam jaringan kayunya. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu tersebut akan semakin mahal dan begitu pula sebaliknya. Secara umum perdagangan gaharu digolongkan menjadi tiga kelas besar, yaitu gubal, kemedangan, dan abu. Gubal merupakan kayu berwarna hitam atau hitam kecoklatan dan diperoleh dari bagian pohon penghasil gaharu yang memiliki kandungan damar wangi beraroma kuat. Kemedangan adalah kayu gaharu dengan kandungan damar wangi dan aroma yang lemah serta memiliki penampakan fisik berwarna kecoklatan sampai abu-abu, memiliki serat kasar, dan kayu lunak. Kelas terakhir adalah abu gaharu yang merupakan serbuk kayu hasil pengerokan atau sisa penghancuran kayu gaharu.

Pengolahan Minyak Gaharu
Sebelum dijadikan bahan baku parfum, gaharu harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan minyak dan senyawa aromatik yang terkandung di dalamnya. Sebagian kayu gaharu dapat dijual ke ahli penyulingan minyak yang biasanya menggunakan teknik distilasi uap atau air untuk mengekstraksi minyak dari kayu tersebut. Untuk mendapatkan minyak gaharu dengan distilasi air, kayu gaharu direndam dalam air kemudian dipindahkan ke dalam suatu tempat untuk menguapkan air hingga minyak yang terkandung keluar ke permukaan wadah dan senyawa aromatik yang menguap dapat dikumpulkan secara terpisah. Teknik distilasi uap menggunakan potongan gaharu yang dimasukkan ke dalam peralatan distilasi uap. Tenaga uap yang menyebabkan sel tanaman dapat terbuka dan minyak dan senyawa aromatik untuk parfum dapat keluar. Uap air akan membawa senyawa aromatik tersebut kemudian melalui tempat pendinginan yang membuatnya terkondensasi kembali menjadi cairan. Cairan yang berisi campuran air dan minyak akan dipisahkan hingga terbentuk lapisan minyak di bagian atas dan air di bawah. Salah satu metode digunakan saat ini adalah ekstraksi dengan [[superkritikal CO2]], yaitu CO2 cair yang terbentuk karena tekanan tinggi. CO2 cair berfungsi sebagai pelarut aromatik yang digunakan untuk ekstraksi minyak gaharu.[7] Metode ini menguntungkan karena tidak terdapat residu yang tersisa, CO2 dapat dengan mudah diuapkan saat berbentuk gas pada suhu dan tekanan normal.

Konservasi
Pada tahun 1994, konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) di Amerika Serikat menetapkan bahwa pohon gaharu spesies A. malaccensis masuk ke dalam Appendix II, yaitu tanaman yang dibatasi perdangannya. Penetapan tersebut dikarenakan populasi tanaman penghasil gaharu semakin menyusut di alam yang disebabkan para pengusaha gaharu tidak dapat mengenali dengan tepat mana tanaman yang sudah mengandung gaharu dan siap dipanen. Untuk mencari pohon penghasil gaharu, para pengusaha menebang puluhan pohon yang salah ( tidak menghasilkan gaharu ) sehingga jumlah pohon tersebut sangat berkurang. Pada tahun 2004, Indonesia mengajukan agar semua penghasil gaharu alam yaitu genus Aquilaria dan Gyrinops dimasukkan ke dalam daftar Appendix 2 untuk membatasi perdagangannya sehingga perdagangan gaharu harus memiliki izin dari CITES dan dalam kuota tertentu. Hal ini dilakukan untuk memastikan spesies pohon gaharu alam dapat berkembang dan tersebar dengan baik.
Mahalnya harga jual getah dan pohon gaharu saat ini membuat banyak petani Kotabaru mulai tertarik untuk mengembangkan dan membudidayakan pohon gaharu. Selain memiliki harga ekonomis yang tinggi, pohon gaharu juga dapat tumbuh di kawasan hutan tropis. Pengembangan pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal orang. Hanya orang-orang tertentu saja yang sudah mengembangkan dan menanam pohon ini. Padahal, keuntungan dari bisnis pohon gaharu dapat mengubah tingkat kesejahteraan warga hanya dalam waktu beberapa tahun.
Selain dapat tumbuh di kawasan hutan, pohon gaharu juga dapat tumbuh di pekarangan warga. Karena itu sebenarnya warga memiliki banyak kesempatan untuk menanam pohon yang menghasilkan getah wangi ini. Banyaknya getah yang dihasilkan dari pohon gaharu tergantung dari masa tanam dan panen pohon tersebut. Misalnya untuk usia tanam selama 9 sampai 10 tahun, setiap batang pohon mampu menghasilkan sekitar 2 kilogram getah gaharu.
Sementara harga getah gaharu mencapai Rp5-20 juta per kilogram. Harga itu tergantung dari jenis dan kualitas getah gaharu. Untuk getah gaharu yang memiliki kualitas rendah dan berwarna kuning laku dijual Rp5 juta per Kg, sedangkan untuk getah pohon gaharu yang berwarga hitam atau dengan kualitas baik laku dijual Rp15-20 juta per Kg.
Salah seorang petani Kotabaru yang sudah mengembangkan pohon gaharu ini adalah Miran, warga Desa Langkang, Kecamatan Pulau Laut Timur. Menurutnya, untuk menanam pohon gaharu dan menghasilkan banyak getah diperlukan perawatan khusus.
Saat pohon gaharu berumur sekitar 5-8 tahun, pohon yang tumbuh seperti pohon hutan alam itu perlu disuntik dengan obat pemuncul getah. Setiap pohon diperlukan satu ampul dengan harga Rp300 ribu. Miran mengaku, ia sudah menjual sekitar 50 batang pohon gaharu yang masih berumur sekitar 1-3 tahun dengan nilai Rp19 juta. Ia juga telah menanam 500 batang pohon gaharu dengan umur satu tahun lebih dan tinggi sekitar 50 cm. Karena memiliki sifat tumbuh yang tidak jauh beda dengan tanaman hutan lainnya, setiap hektar lahan dapat ditanam sekitar 500 pohon gaharu dengan jarak tanam sekitar 3 - 4 meter kali 6 meter. ( 3 - 4 m x 6 m )
Bibit pohon gaharu tersebut ia peroleh dari Samarinda, Kalimantan Timur, yang sebelumnya dikembangkan dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Harga bibit dari Rp7.500 sampai Rp10.000 per pohon. Untuk pemasaran tidak perlu repot, karena banyak pembeli yang siap mendatangi mereka yang memiliki getah gaharu. Pengusaha transportasi itu juga berharap usaha yang ia rintis dapat diikuti masyarakat dan petani lain di Kotabaru. Apalagi bila mengingat masih banyak lahan tidur dibiarkan terbengkalai mubazir.
“Jika lahan tidur di wilayah kita dikembangkan dengan menanam gaharu, maka 10-15 tahun kemudian akan menghasilkan uang ratusan juta,” terang Miran. Sebelumnya, Miran sudah mencoba beberapa tanaman kebun, namun hasilnya tidak seperti menanam pohon gaharu. Dalam satu pohon usia dewasa dapat menghasilkan uang puluhan juta rupiah, Selain Miran banyak petani lain di Desa Betung, Langkang Lama, Langkang Baru, Gunung Ulin dan Sebelimbingan yang mulai mengembangkan kayu yang biasa diambil getahnya untuk bahan minyak dan bahan obat obatan tersebut.(Narullah)

G A H A R U
Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut, dan pada umumnya terjadi pada pohon Aguilaria sp. (Nama daerah : Karas, Alim, Garu dan lain-lain).
Gaharu, jenis tanaman ini sangat akrab di wilayah tropis seperti Indonesia ini. Siapa yang tidak kenal gaharu. Masyarakat Indonesia yang tumbuh dengan pengaruh asia terutama India, China dan Melayu sangat akrab dengan gaharu mulai awal era klasik Nusantara. Kebudayaan Hindu, Bhuda, Konghucu memanfaatkan kayu gaharu untuk: Keperluan ritual keagamaan (dupa, hiyo; Hindu Budha, Konghucu), Pengharum badan , Pengharum ruangan, Bahan kosmetik, Obat-obatan sederhana.
Kayu gaharu dulu didapatkan di hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis Nusantara memberikan secara alamiah proses terbentuknya kayu gaharu di wilayah sesuai dengan syarat tumbuhnya: Sesuai dengan kondisi habitat alami; Dataran rendah, Berbukit (< 750 mdpl).


 Gambar : Daun Gaharu . Daun gaharu juga bisa dimanfaatkan untuk teh daun Gaharu.
Jenis Aquilaria tumbuh baik di jenis tanah Podsolik merah kuning, tanah lempung berpasir, dengan drainage sedang sampai baik, iklim A-B, kelembaban 80%, suhu 22-28 derajat Celsius, Curah hujan 2000-4000 mm/th. Tidak baik tumbuh di tanah tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa, tanah dengan pH < 4.
Jaman dulu gaharu diperoleh dari alam langsung untuk kepentingan sendiri. Tetapi dalam perkembangannya kayu gaharu menjadi komoditas yang langka karena diexploitasi besar-besaran dan mulai diperdagangkan ke berbagai penjuru dunia (China, Arab, India dan Eropa dll). Saat ini menjadi suatu kesulitan untuk mendapatkan kayu gaharu dalam jumlah besar, karena hutan-hutan sudah dilindungi dan dikonservasi. Meskipun demikian di pasar selalu beredar komoditas tersebut yang diambil dari hutan-hutan. Kecuali daerah-daerah yang memenag sudah melakukan pembudidayaan gaharu.
Saat ini Pusat Penelitian geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas Indonesia (UI) sudah meluncurkan hasil penelitiannya terkait dengan rekayasa produksi kayu gaharu. Kayu gaharu yang tadinya hanya didapatkan dari alam langsung sekarang sudah dapat dbudidayakan dengan lebih seksama seperti tanaman perkebunan lain (teh, kopi, coklat, karet dll).
Gaharu rekayasa memberikan peluang perencanaan budidaya yang lebih akuntable, dari mulai penyemaian, pembibitan, penanaman, penyiapan lahan, pemupukan, perawatan, pengobatan, rekayasa in-okulasi (pemasukan enzim pembentuk jamur gaharu yang harum dan khas wangi baunya. Dari mulai penanaman hingga dapat dilakukan inokulasi ketika pohon gaharu berumur 4-5 tahun. Dan setelah 1-2 tahun kemudian dapat di panen.
Kebutuhan gaharu dunia sangat besar quota Indonesia 300 ton/tahun baru dapat dipenuhi 10 % inipun berasal dari gaharu alam. Temuan rekayasa produksi kayu gaharu memberi peluang yang sangat besar bagi perkebunan di Indonesia. Dan keuntungan lainnya gaharu dapat disisipkan di sela-sela perkebunan karet, ataupun dapat juga perkebunan gaharu dengan sistem tumpang sari yang mana pohon gaharu sebagai tanaman induk (tanaman keras tahunan) dan pada lahan yang sama di tanam tanaman musiman yang disarankan jenis tanaman dengan buah di atas (bukan umbi-umbian).
Jika pada tahun 2009 pemerintah bersama masyarakat perkebunan dan pertanian secara serentak melakukan penanaman dan tahun 2014 dilakukan penyuntikan (inokulasi) maka 2015/16 Indonesia menjadi produsen kayu gaharu terbesar di dunia.
Mari bersama sama mensukseskan 2009 sebagai tahun Gaharu Indonesia. Dan saat ini pihak UI sudah mempersiapkan bibit gaharu sebanyak-banyaknya. Kami bekerjasama dengan UI sudah memulai penanaman bibit gaharu, baik di Jawa Barat(sawangan Depok), Yogyakarta (kulon Progo), maupun Jawa Timur (Malang)

Istilah Istilah Umum
Abu gaharu adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.
Damar gaharu adalah sejenis getah padat dan lunak, yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, dan ditandai oleh warnanya yang hitam kecoklatan.
Gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman berseling coklat.
Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak.

Spesifikasi
Gaharu dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sortimen, yaitu gubal gaharu, kemedangan dan abu gaharu.
Klasifikasi
Gubal gaharu dibagi dalam tanda mutu, yaitu :
1. Mutu utama, dengan tanda mutu U, setara mutu super.
2. Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu AB.
3. Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu sabah super.
Kemedangan dibagi dalam 7 (tujuh) kelas mutu, yaitu :
1. Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu TGA atau TK I.
2. Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu SB I.
3. Mutu ketiga, dengan tanda mutu III, setara mutu TAB.
4. Mutu keempat, dengan tanda mutu IV, setara mutu TGC.
5. Mutu kelima, dengan tanda mutu V, setara mutu M 1.
6. Mutu keenam, dengan tanda mutu VI, setara mutu M 2.
7. Mutu ketujuh, dengan tanda mutu VII, setara mutu M 3.
Abu gaharu dibagi dalam 3 (tiga) kelas mutu, yaitu :
1. Mutu Utama, dengan tanda mutu U.
2. Mutu pertama, dengan tanda mutu I.
3. Mutu kedua, dengan tanda mutu II.

Cara Pemungutan
1. Gubal gaharu dan kemedangan diperoleh dengan cara menebang pohon penghasil gaharu yang telah mati, sebagai akibat terjadinya akumulasi damar wangi yang disebabkan oleh infeksi pada pohon tersebut.
2. Pohon yang telah ditebang lalu dibersihkan dan dipotong-potong atau dibelah-belah, kemudian dipilih bagian-bagian kayunya yang telah mengandung akumulasi damar wangi, dan selanjutnya disebut sebagai kayu gaharu.
3. Potongan-potongan kayu gaharu tersebut dipilah-pilah sesuai dengan kandungan damarnya, warnanya dan bentuknya.
4. Agar warna dari potongan-potongan kayu gaharu lebih tampak, maka potongan-potongan kayu gaharu tersebut dibersihkan dengan cara dikerok.
5. Serpihan-serpihan kayu gaharu sisa pemotongan dan pembersihan atau pengerokan, dikumpulkan kembali untuk dijadikan bahan pembuat abu gaharu.

Cara Uji
1. Prinsip : Pengujian dilakukan secara kasat mata (visual) dengan mengutamakan kesan warna dan kesan bau (aroma) apabila dibakar.
2. Peralatan yang digunakan meliputi meteran, pisau, bara api, kaca pembesar (loupe) ukuran pembesaran > 10 (sepuluh) kali, dan timbangan.

Syarat pengujian
1. Kayu gaharu yang akan diuji harus dikelompokkan menurut sortimen yang sama. Khusus untuk abu gaharu dikelompokkan menurut warna yang sama.
2. Pengujian dilaksanakan ditempat yang terang (dengan pencahayaan yang cukup), sehingga dapat mengamati semua kelainan yang terdapat pada kayu atau abu gaharu.
Pelaksanaan pengujian
1. Penetapan jenis kayu
Penetapan jenis kayu gaharu dapat dilaksanakan dengan memeriksa ciri umum kayu gaharu.
2. Penetapan ukuran
Penetapan ukuran panjang, lebar dan tebal kayu gaharu hanya berlaku untuk jenis gubal gaharu.
3. Penetapan berat
Penetapan berat dilakukan dengan cara penimbangan, menggunakan satuan kilogram (kg).
4. Penetapan mutu
Penetapan mutu kayu gaharu adalah dengan penilaian terhadap ukuran, warna, bentuk, keadaan serat, bobot kayu, dan aroma dari kayu gaharu yang diuji. Sedangkan untuk abu gaharu dengan cara menilai warna dan aroma.
Penilaian terhadap ukuran kayu gaharu, adalah dengan cara mengukur panjang, lebar dan tebal, sesuai dengan syarat mutu pada Tabel 2.
Penilaian terhadap warna kayu dan abu gaharu adalah dengan menilai ketuaan warna, lebih tua warna kayu, menandakan kandungan damar semakin tinggi.
Penilaian terhadap kandungan damar wangi dan aromanya adalah dengan cara memotong sebagian kecil dari kayu gaharu atau mengambil sejumput abu gaharu, kemudian membakarnya. Kandungan damar wangi yang tinggi dapat dilihat dari hasil pembakaran, yaitu kayu atau abu gaharu tersebut meleleh dan mengeluarkan aroma yang wangi dan kuat.
Penilaian terhadap serat kayu gaharu, adalah menilai kerapatan dan kepadatan serat kayu. Serat kayu yang rapat, padat, halus dan licin, bermutu lebih tinggi dari pada serat yang jarang dan kasar.
10.4.5. Penetapan mutu akhir

Penetapan mutu akhir didasarkan pada mutu terendah menurut salah satu persyaratan mutu berdasarkan karakteristik kayu gaharu.
Syarat Lulus Uji
Kayu gaharu atau abu gaharu yang telah diuji atau diperiksa, dinyatakan lulus uji apabila memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan.
Syarat Penandaan
Pada kemasan kayu atau abu gaharu yang telah selesai dilakukan pengujian harus diterakan:
- Nomor kemasan
- Berat kemasan
- Sortimen
- Mutu
- Nomor SNI
- Tanda Pengenal Perusahaan (TPP)

Gaharu Buatan Balitbang Kehutanan
Oleh Nawa Tunggal
Bagi awam, kerap kali gaharu dikenal sebagai pohon berkayu wangi layaknya kayu cendana. Padahal, berbeda sama sekali. Gaharu pun sekarang bukan melulu berkah alam tanpa campur tangan manusia karena ditemukan metode produksi gaharu buatan yang tak kalah dengan yang alami.
Di Bogor, Jawa Barat, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kehutanan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan mengembangkan rekayasa produksi gaharu buatan.
Risetnya dimulai sejak tahun 2000. Riset itu menunjukkan keberhasilan dalam waktu satu sampai dua tahun terakhir ini.
Gaharu itu sendiri sebagai hasil persenyawaan enzim jamur tertentu yang menginfeksi kayu jenis tertentu pula. Persenyawaan itu menghasilkan damar wangi yang kemudian dikenal sebagai gaharu.
Kayu yang mengandung damar wangi atau gaharu kategori paling bagus atau kelas super mencapai harga Rp 50 juta per kilogram. Melalui metode penyulingan, gaharu umumnya dimanfaatkan sebagai pewangi.
Kepala Bidang Puslitbang Hutan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Sulityo A Siran mengatakan, gaharu mulai diendus pula untuk obat herbal berbagai jenis penyakit berat, seperti tumor, kanker, lever, tuberkulosis, dan ginjal.
Soal pepatah, ”Sudah gaharu, cendana pula!”, menurut Sulistyo, itu hanyalah pepatah untuk menguatkan suatu hal. Gaharu beraroma wangi. Tentu akan wangi berlipat-lipat jika gaharu terdapat di kayu cendana yang memang sudah wangi. ”Pada kenyataanya, gaharu tidak pernah berada di kayu cendana,” ujarnya.

Teknik budidaya GAHARU
Beberapa jenis tumbuhan berpotensi untuk memproduksi gaharu sudah dieksplorasi. Jenis tumbuhan itu meliputi Aquilaria spp, Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonsystylus.
Berbagai jenis tumbuhan itu tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Tetapi, keberadaannya sekarang mulai langka.
Masyarakat juga sulit mengenali jenis tumbuhan tersebut. Salah satu jenis Aquilaria di Kalimantan dikenal dengan nama lokal karas. Keberadaannya mulai jarang dijumpai pula.
Teknik budi daya gaharu dengan cara penginfeksian jamur pembentuk gaharu ke dalam batang pohon potensial. Isolat jamur penginfeksi atau pembentuk gaharu sudah dieksplorasi Balitbang Kehutanan dengan hasil diperoleh dari genus Fusarium dan Cylindrocarpon.
• Pemilihan Species
Aquilaria malaccensis, A. microcarpa serta A. crassna adalah species penghasil gubal gaharu dengan aroma yang sangat disenangi masyarakat Timur Tengah, sehingga memiliki harga paling tinggi.
• Lokasi Penanaman.
Gaharu dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 750 m dpl.
• Pola Tanam
Monokultur atau sistem campur (tumpangsari, atau agroforestry)
• Jarak Tanam
Jarak tanam 3 x 3 m (1.000 pohon/ha.), namun dapat juga 2.5 x 3 m sampai 2.5 x 5 m. Jika tanaman gaharu ditanam pada lahan yang sudah ditumbuhi tanaman lain, maka jarak tanaman gaharu minimal 3 m dari tanaman tersebut.
• Lubang tanam
Ukuran lubang tanam adalah 40 x 40 x 40 cm. Lubang yang sudah digali dibiarkan minimal 1 minggu, agar lubang beraerasi dengan udara luar. Kemudian masukkan pupuk dasar, campuran serbuk kayu lapuk dan kompos dengan perbandingan 3 : 1 sampai mencapai ¾ ukuran lubang. Kemudian setelah beberapa minggu pohon gaharu, siap untuk ditanam.
• Penanaman
Penanaman benih gaharu sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan di pagi hari sampai jam 11.00, dan dapat dilanjutkan pada jam 4 petang harinya.
• Pemeliharaan
Pemupukan dapat dilakukan sekali 3 bulan, namun dapat juga setiap 6 bulan dengan kompos sebanyak 3 kg melalui pendangiran dibawah canopy. Penggunaan pupuk kimia seperti NPK dan majemuk dapat juga ditambahkan setiap 3 bulan dengan dosis rendah (5 gr/tanaman) setelah tanaman berumur 1 tahun, kemudian dosisnya bertambah sesuai dengan besarnya batang tanaman. Hama tanaman gaharu yang perlu diperhatikan adalah kutu putih yang hidup di permukaan daun bawah, bila kondisi lingkungan lembab. Pencegahan dilakukan dengan pemangkasan pohon pelindung dan pruning agar kena cahaya matahari diikuti penyemprotan pestisida seperti Tiodane, Decis, Reagent., dll Pembersihan gulma dapat dilakukan sekali 3 bulan atau pada saat dipandang perlu.
Pemangkasan pohon dilakukan pada umur 3 sampai 5 tahun, dengan memotong cabang bagian bawah dan menyisakan 4 sampai 10 cabang atas. Pucuk tanaman dipangkas dan dipelihara cukup sekitar 5 m, sehingga memudahkan pekerjaan inokulasi gaharu.
Saat ini diperoleh dari genus Fusarium sebanyak 23 isolat jamur. Empat isolat jamur Fusarium paling cepat menginfeksi kayu berpotensi menjadi gaharu.
”Dalam satu bulan kayu yang diinfeksi dengan keempat isolat jamur tersebut sudah mampu menunjukkan tanda-tanda keberhasilannya,” kata Sulistyo.
Kemudian gaharu buatan itu bisa dipetik pada usia satu hingga tiga tahun. Pohon potensial yang dipilih untuk membentuk gaharu, yang sudah berdiameter lebih dari 15 sentimeter dan usianya di atas 5-6 tahun.
Untuk menyuntikkan isolat jamur penginfeksi, sebelumnya pohon potensial dilukai. Pada bagian pelukaan tersebut, isolat jamur disuntikkan. ”Dalam satu pohon disuntikkan isolat jamur pada 200 sampai 300 titik pelukaan batang,” kata Sulistyo. Dalam pelukaan kemudian terjadi infeksi jamur yang membentuk warna kehitam-hitaman.
Selama tiga tahun, semburat warna kehitaman itu akan menyebar ke atas dalam jarak hanya 3-4 sentimeter saja. Semburat warna kehitam-hitaman pada serat kayu itulah yang disebut gaharu.
Selama ini gaharu alam yang paling bagus disebut gaharu super yang berwarna hitam pekat, padat, keras, mengilap, dan beraroma kuat khas gaharu.
Gaharu super tidak menampakkan serat kayunya. Bentuknya seperti bongkahan yang di dalamnya tidak berlubang.
”Klasifikasi mutu gaharu ditetapkan ada enam. Berturut-turut dari yang paling bagus, yaitu kelas super, tanggung, kacangan, teri, kemedangan, dan cincangan,” kata Sulistyo.
Kelas cincangan merupakan potongan kecil-kecil dari kayu yang terinfeksi menjadi gaharu. Meskipun tidak berwarna kehitaman atau tidak mengandung getah gaharu, kelas cincangan masih menunjukkan aroma khasnya. Biasanya, gaharu ini digunakan untuk pembuatan dupa atau hio.
Dalam proses produksi gaharu buatan, yang sangat penting dikuasai adalah proses pembenihan, persemaian, penanaman, dan pemeliharaan pohon-pohon berpotensi gaharu.
Tidak kalah pentingnya, yaitu tahapan pembentukan isolat jamur yang akan diinfeksikan. Metodenya, meliputi isolasi jamur pembentuk yang diambil dari jenis pohon penghasil gaharu.
Setelah jamur berhasil diidentifikasi kesesuaiannya, kemudian diperbanyak ke dalam media cair atau padat. Isolat jamur hasil perbanyakan pun siap disuntikkan ke pohon berpotensi gaharu.
Dengan cara penyuntikan (inokulasi) menggunakan mikroorganisme (jamur). Berdasarkan hasil penelitian tahun 2004, rakayasa penyuntikan dengan mikroorganisme ( Fusarium sp .) pada pohon penghasil gaharu menggunakan inokulan padat dan inokulan cair, menunjukkan adanya indikasi kuat terbentuknya gubal gaharu.

Tujuan dan sasaran
Tujuan :
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyediakan data/informasi mengenai proses pembentukan gaharu dan menghasilkan paket teknologi penyuntikan dengan menggunakan mikroorganisme ( Fusarium sp. ) dalam bentuk inokulan padat dan cair pada pohon penghasil gaharu.
Sasaran :
Sasarannya adalah tersedianya data/informasi mengenai proses pembentukan gaharu dan paket teknologi penyuntikan dengan menggunakan mikroorganisme ( Fusarium sp .) dalam bentuk inokulan padat dan cair pada pohon penghasil gaharu.
Metodologi
Lokasi penelitian meliputi Kabupaten Berau (Desa Labanan Jaya dan Makmur), Kabupaten Kutai Kartanegara (Desa Sei Merdeka, Samboja) dan Kotamadya Samarinda (Desa Lempake dan Sempaja).
Dalam penelitian ini dilakukan 2 cara penyuntikan dengan menggunakan inokulan padat dan cair pada pohon gaharu dari tanaman dan alam antara lain :
1. Melakukan pengeboran pada batang berbentuk spiral hingga tinggi bebas cabang, atau setinggi 3,2 m.
2. Melakukan pengeboran dan penggergajian arah vertikal hingga ketinggian 4,2 meter.

Telah dilakukan penyuntikan (inokulasi) pada pohon penghasil gaharu ( Aquilaria malaccensis, A. microcarpa dan A. beccariana ) milik masyarakat sebanyak 30 pohon yang terdiri dari 18 pohon berasal dari tanaman dan 12 pohon berasal dari alam (tumbuh secara alami).
Penyuntikan pada batang pohon berbentuk spiral dan vertikal. Spiral dengan cara pengeboran saja, sedangkan vertikal gabungan antara pengeboran dan penggergajian. Inokulan yang digunakan adalah inokulan padat dan cair.
Pemanenan gubal gaharu akan dilakukan 2 (dua) tahun setelah penyuntikan dengan cara memanen sekitar 25% dari hasil penyuntikan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Berblok (RAB) dan Uji Lanjutan menggunakan Uji LSD.
Ringkasan hasil kegiatan.
Pemanenan gubal gaharu hasil penyuntikan (inokulasi) akan dilakukan 2 tahun setelah inokulasi yaitu tahun 2007.
Hasil sementara pengukuran 3 bulan setelah inokulasi jaringan kayu yang terinfeksi dengan menggunakan inokulan padat panjang berkisar 1,8 – 5,1 cm dan lebar 1,1 – 3,2 cm, sedangkan menggunakan inokulan cair panjang berkisar 2,3 – 4,3 cm dan lebar 0,9 – 3,1 cm. Hasil pengukuran panjang dan lebar merupakan hasil rata-rata dari 3 kali pengukuran pada pohon gaharu berasal dari tanaman.
Keterbatasan jumlah pohon penghasil gaharu ( Aquilaria spp .) untuk kegiatan penelitian, baik pohon gaharu yang berasal dari alam (tumbuh alami) maupun pohon gaharu yang berasal dari tanaman (hasil penanaman).
Permasalahan
Meskipun ada indikasi kuat terbentuknya gaharu dari hasil penyuntikan (inokulasi) dengan menggunakan inokulan padat dan cair. Namun pembentukan gaharu tersebut perambatannya sangat lambat. Di samping itu hanya jenis jamur Fusarium sp . saja yang digunakan sebagai inokulum pembentuk gaharu.
Penyuntikan (inokulasi) pada pohon gaharu dari alam belum optimal, karena pohonnya tinggi dan sulit untuk dijangkau.
Terjadi gangguan pada pohon yang diinokulasi, khusus pohon gaharu dari alam seperti pengambilan inokulum dan lilin penutup lubang
Perlu dilakukan inventarisasi pohon penghasil gaharu (Aquilaria spp.), baik pohon gaharu dari tanaman maupun pohon gaharu alam yang dimiliki masyarakat sekitar hutan. Di samping itu perlu juga dilakukan inventarisasi pohon gaharu untuk mengetahui potensi gaharu di alam seperti di hutan sekunder, hutan produksi dan kawasan konservasi (hutan lindung, Taman Nasional). Hal ini dimaksudkan untuk pengembangan penelitian gaharu, selama pohon gaharu hasil penanaman belum tersedia.
Melakukan budidaya pohon gaharu yang representative, mudah dijangkau dan jauh dari kemungkinan gangguan dari manusia dan lainnya. Hal ini mengingat dalam kenyataan di lapangan banyak pohon-pohon yang ditebang oleh masyarakat, meskipun pohon tersebut tidak mengandung gaharu. Di samping itu pengambilan inokulan padat dan lilin penutup lubang.
Terjadi gangguan pada pohon yang diinokulasi, khusus pohon gaharu dari alam seperti pengambilan inokulum dan lilin penutup lubang
Langkah tindak lanjut
Karena proses pembentukan gaharu sangat lambat perlu dicoba beberapa jenis jamur yang di dapat dari pohon gaharu (tanaman dan alam serta gaharu dari para pengumpul). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan jenis jamur untuk menginfeksi jaringan kayu dan perambatan gubal gaharu.

The Brunei Times : Grow 'Gaharu' to harvest cash

BRUNEIANS and the government should be more proactive in cultivating species of trees under the Aquilaria genus, popularly known here as "Gaharu", not only for its investment potential but also to replenish what has now become an endangered species of tree.

During a one-day seminar organised by Gaharu Brunei yesterday, Malaysia speaker Mat Hasbollah Sudin of Gaharuman Resources, talked about the different types of Aquilaria tree, their value, how to grow them and the different products that can be made from the trees.

The Aquilaria genus is best known as the main source of agarwood, more commonly known in Brunei as "Gaharu", translated to mean fragrant wood. Some may recognise it by another name, "oud". Agarwood is a resinous heartwood that forms in the tree when it is infected with a type of mold. The tree produces a dark aromatic resin in response to this attack.


The fragrant oil extracted from the agarwood is popularly used in the Middle East as perfumes. A quick survey of the website of Arabian Oud company, the largest Arabian fragrance retailer in the world, revealed that a 3ml bottle of pure "oud" oil can cost from $65 up to nearly $400.

Due to the demand for agarwood, the wild trees have been almost depleted and now considered endangered. The tree is also a protected species in Brunei.

The Brunei Times recently reported that the Royal Brunei Police Force had set up to base camps in Tutong and Temburong to try to combat the problem of people stealing these trees. However, a member of Gaharu Brunei said that protection isn't enough.

"The Forestry Department needs to replenish these trees when they are stolen or cut down," said the Gaharu Brunei member, who wished to be known as Fikri.

"We have green and trees everywhere, but it's not really worth anything. Growing Gaharu means that we're being eco-friendly as well as producing something that has value," said Fikri.

"Oil and gas is going to run out, so here is an opportunity to diversify," he added.

Fikri expressed that one of the reasons people did not grow the trees was because of lack of knowledge. "People think that you can't grow the tree and cut it down since it's endangered but this isn't true, that only applies to the ones growing in the wild," he said.

Another reason why Bruneians are not keen on cultivating Gaharu is because of the time it takes to mature.

"Sure it takes a long time, but people need to think in terms of the future. This is could be an investment for your children or your grandchildren. Anyway, you can still reap the benefits in the first year of cultivation as the leaf shoots can be used to make tea," he explained.

"We want to promote the cultivation of Gaharu because we believe it will benefit the people of Brunei. Rather than having the wood stolen, which doesn't benefit us at all, we can cultivate it and sell it legally."

Fikri said that he believed most of the products made of Bruneian Aquilaria trees were illegally obtained. "Here's an example, a few years ago there were some visitors in Brunei from Oman and they asked us to find "Gaharu" and we couldn't. They said Bruneian Gaharu is one of the best in the world," said Fikri.

He went on to explain that Gaharu Brunei does not want to monopolise the opportunity to sell the agarwood, but rather to get the public aware of this prospect.

"We want to attract people's attention because this is something good. There were people who said, 'Why have this seminar? Just keep it to yourself and reap the rewards', but we're not going to be selfish. People want to do business, so here's an idea. We can't depend on oil forever."

Yesterday's seminar was the first organised by the group and was attended by 20 people. The participants were given certificates at the end of the seminar to mark their attendance. The Brunei Times

Sudah gaharu, Cendana pula

(taken from www.kphbanyumastimur.perumperhutani.com)

PEPATAH tua "sudah gaharu, cendana pula" bisa dipastikan menunjukkan betapa dikenalnya kedua jenis tanaman tersebut. Namun, selama ini yang dikenal dengan baik sebagai tanaman yang bernilai tinggi hanyalah kayu cendana. Sedang tanaman gaharu tidak banyak yang tahu kegunaannya, apalagi jika tanaman itu tumbuh sehat tanpa cacat, yang berarti nyaris tak punya nilai ekonomi.

Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh endemik beberapa species gaharu komersial dari marga Aquilaria seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. filaria dan lain-lain.  Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1487 ton, namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan species-species gaharu menjadi langka.  Sehingga pada tahun 1995 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah memasukkan A. malaccensis, penghasil gaharu terbaik ke dalam daftar appendix II.  Sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun.  Namun sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh dibawah ambang kuota CITES.

Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp.) dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok. Karena kekhawatiran akan punahnya species gaharu  di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah menurunkan kuota ekspor menjadi hanya 125 ton/tahun.
Untuk memenuhi permintaan ekspor, perlu dilakukan upaya peningkatan produksi gaharu secara lestari. Hal ini dapat dicapai melalui upaya  konservasi, pembangunan hutan industri gaharu yang didukung dengan tersedianya  bibit unggul, serta teknologi  bioproses gaharu yang efektif.  Selain untuk mempertahankan kelestarian gaharu, konservasi plasma nuftah gaharu baik secara in situ maupun ex situ juga akan memberikan peluang dihasilkannya bibit unggul.  Penemuan bibit unggul yang memiliki sifat potensial dalam menghasilkan gaharu dapat dilakukan melalui metode seleksi, baik seleksi in planta (pada pohon) maupun in vitro (di laboratorium).

Hingga seperempat abad lalu, gaharu (Aquilaria spp) yang banyak dijumpai di hutan Indonesia itu, tumbuh nyaris tanpa gangguan. Dalam proses pertumbuhannya, alam membuatnya tidak tumbuh normal, dalam arti, gangguan alam menyebabkan gaharu terinfeksi penyakit yang kemudian diketahui menghasilkan gubal gaharu. Gubal gaharu yang mengandung damar wangi (Aromatic resin) untuk bahan baku beraneka jenis wewangian inilah yang kemudian mendorong perburuan gaharu.

Sejak tahun 1970-an, perburuan gaharu mulai dilakukan besar-besaran karena nilai ekspor gubal yang tinggi. Lalu, dalam waktu 10-15 tahun setelah itu, tanaman gaharu di Indonesia mulai terancam punah, terutama karena belum dikenalnya teknologi budidaya gaharu dan teknologi memproduksi gubal. Apalagi meluasnya perburuan kayu gaharu dilakukan dengan penebangan yang sia-sia. Artinya, banyak pohon gaharu yang tidak mengandung gubal ditebang dan mati.

Gubal gaharu, merupakan bagian kayu gaharu yang mengandung aromatik resin (resin wangi). Zat-zat pada aromatik resin ini terbukti selain memiliki aroma pengharum, juga memiliki manfaat/khasiat sebagai anti asmatik, anti mikrobia, stimulan kerja syaraf dan pencernaan, zat aphriodisic (perangsang sex), anodyne (penghilang rasa sakit), anti kanker, diare, dan obat tumor paru-paru. Daun dan kulit batang gaharu mempunyai fungsi sebagai obat anti malaria, sedangkan sifat fisik kulit batang gaharu yang alot, sehingga sejak lama digunakan sebagai bahan baku tali-temali, merupakan bahan baku potensial bagi pembuatan aneka kerajinan tangan bernilai ekonomis tinggi.

Budi daya tanaman gaharu sudah mulai dilakukan di beberapa tempat, dan menunjukkan prospek yang sangat baik.  Pengelolaan tanamannya tidak berbeda dengan tanaman lainnya.  Perawatan yang intensif dapat memacu pertumbuhan sehingga seperti di Vietnam sudah bisa dilakukan inokulasi pada tanaman usia 4 (empat) tahun.

Pada panduan pengelolaan tanaman gaharu, biasanya tanaman sudah siap untuk diinokuladi pada usia 6 tahun. Akan tetapi pada dasarnya tidak ada perbedaan usia untuk dapat menghasilkan gaharu.  Hal tersebut sangat tergantung dengan diameter tanaman. Sehingga pembuatan lubang inokulasi sejauh lebih kurang 1/3 diamter pohon secara spiral dan vertical dengan spasi yang bervariasi tidak menyebabkan pohon rentan patah.  
Perawatan tanaman dengan pemupukan bahan organik sangat disarankan. Sehingga pertumbuhan pohon bisa optimal dan menghasilkan performa batang yang baik. Pemangkasan cabang harus dilakukan untuk memacu pertumbuhan vertikal pohon sehingga diameter pohon dapat berkembang sesuai yang diharapkan dan menghasilkan jaringan batang yang siap untuk dilakukan inokulasi.

Pembuatan jarak tanam pada saat penanaman sangat bervariasi sesuai dengan pola yang akan dikembangkan.  Jarak tanam yang cukup rapat seperti 3×1 m cukup ideal untuk membuat kualitas tegakan vertikal.  Pelebaran jarak tanam dapat dikompensasi dengan perawatan tanaman yang lebih intensif.  Jarak yang cukup lebar seperti 6 x 2 m atau 3 x 3 m memberikan kesempatan untuk mengkombinasi dengan tanaman pertanian sebelum terjadi penutupan tajuk. Beberapa teknis yang dikenalkan bisa dengan monokultur atau dicampur dengan pohon pelindung.

Banyak pihak pada saat ini terlibat secara intensif untuk menemukan metoda baru dalam menyelamatkan masa depan gaharu, seperti Prof. Blanchette dari Minnesota University (USA)Ibu Tri dari UNRAM, Ibu Gayuh dari IPB, pak Joner dari Biotrop, pak Herdi dari Litbang Kehutanan Bogor dan lain-lain.
Semua berharap bahwa gaharu dapat diselamatkan dengan salah satu cara menemukan metoda yang tepat dalam mempercepat produksi.  Dengan demikian masa depan gaharu akan menjadi lebih terperhatikan dan diharapkan dapat diselamatkan, karena juga berarti akan menyelamatkan masa depan kawan-kawan kita yang tinggal di sekitar hutan dan mempunyai ketergantungan ekonomi dengan gaharu.

What-makes-good-Aloeswood

Finding Oud oil is not difficult. Finding exceptional Oud oil is quite a different story. Diamonds are readily available, but finding a Red Diamond will leave you having to ask more than once.

Aloeswood chips Just as a mystic sage grows in wisdom and spiritual insight over the years, so does the Agarwood resin in the Aquilaria trunk intensify its fragrance over time. The oldest and most resinated Aloeswood will yield the rarest and most precious Oud oil. The aging process enhances the fragrant aura of the Oud resin and intensifies its aromatic value.

That is why there is a wide range of different Oud qualities and grades. The cheapest Oud oil is distilled from agarwood that costs as little as $20 a kilogram, while the finest Oud can be distilled from agarwood that costs as much as $7,000 per kilogram. The latter is regarded as the highest quality Oud, and it is produced and cherished only by the most discriminating connoisseurs of fine Oud oil. Our Oud Mostafa and new Borneo 3000 are examples of this caliber.

But finding premium-grade Agarwood is only half the story. A great deal of fantastically good aloeswood has been wasted due to poor distillation practices. Marble in the hands of an amateur is not quite the same as in the hands of Michelangelo.

So there are primarily two factors determining the quality of your Oud oil: the grade of agarwood used in the extraction, and the meticulousness of the distillation process itself. Ensar Oud™ commissions and supervises its distillations according to rigorous and exclusive extraction methods which are patented and unique to Ensar Oud

Thursday, December 29, 2011

Management of agarwood plantations” and “Propagation”

Improving seed viability (and availability)

To improve seed viability, seeds can be stored in a refrigerator for 2 months. (Normally seeds start to lose their germination capacity within one week.)
Species
Storage temperature
Germination rate after 2 months
A. malaccensis
10-12°C
80%
A. crassna
10-20°C
55-60%

 

 

Nursery

Problem with roots: they are too big and not easy to transport. It might help to give less P as fertilizer in nursery, as P stimulates root growth. But then the better the roots, the better the seedling.....

Genetic resource base and conservation / economic and environmental sustainability

Genetic resource base is rapidly diminishing in Cambodia , India , Papua New Guinea and Vietnam and needs to be preserved. Hopefully plantations will contribute to the sustainable use and management of agarwood trees. But this is hard to ascertain, as plantations could also increase the demand for wild agarwood. The future will tell.

 

Table 1.1:   Management practices in different regions

MANAGEMENT PRACTICE
ASSAM
PAPUA NEW GUINEA
VIETNAM
CAMBODIA
Age
15 years
Species
Aquilaria malaccensis
Treatment
5-6 years  
Plantation
big & commercial   many plantations in State Forest Enterprises throughout Vietnam no plantations
  home gardens some domestication in home gardens some domestication in home gardens
  intercropped with aromatic herbs  
Ownership
commercial companies individual forest owners state forest enterprises in the future plantations run by farmers
  individual home gardens managed by farmers "no man's land" sources individual: in home gardens & allocated forest
Wild sources
none left almost exclusive source some left still available
Control
Aquilaria crassna protected by law no control

 

Table 1.2: Ecological Characteristics for best quality agarwood producing trees in the wild (based on impressions of group members)

Altitudes
Better quality of agarwood at high altitudes, but trees also grow at lower altitudes
In PNG Gyrinops is also found in swamp areas
Slope
Better quality of agarwood in steep areas up to 45 degrees
Soil
Better quality of agarwood s on bad / poor soils, stony and deep, low fertility
Rainfall
Better quality of agarwood when rainfall is high   (more than 1800 mm per year)
Temperature
Better quality of agarwood if trees grow at low temperatures 20-25°C
Humidity
Better quality of agarwood when the humidity is high